Jumat, 09 September 2016

Seminar Islam Nusantara Oleh As'aduttabi'in, M.Pd.I


Wawasan Islam Nusantara yang digawangi Nahdlatul Ulama (NU) menarik perhatian para ulama dunia. Ini lantaran wawasan tersebut menawarkan gagasan yang menjembatani antara ajaran Islam dengan nilai-nilai kebudayaan. 
 Diwaktu yang bias dikatakan sama, Mu’tamar Muhammadiyah dengan Tema Islam Berkemajuan juga membahas islam keindonesiaan yang tak jauh dengan makna islam nusantara. 
Atas pandangan tersebut, Perwakilan ulama dari empat negara peserta International Summit of the Moderate Islamic Leaders (ISOMIL) berencana akan membentuk Jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU). Empat negara yang akan menjadi tempat berdirinya Jam'iyah NU adalah Libanon, Yunani, Lithuania, serta Rusia. 
Menurut Rektor Universitas Kulliyatud Da’wah, Libanon, Syeikh Abdul Nasheer Jabri, nilai-nilai dasar yang dikembangkan NU selaras dengan ajaran Nabi Muhammad SAW dalam membangun peradaban manusia. Dia menilai, NU melalui Islam Nusantara telah banyak mempraktikan prinsip moderasi dan toleransi. 
"Paradigma Islam moderat ala NU ini harus terus dikampanyekan oleh berbagai pihak. Karena misi ini adalah hal yang sangat prinsipil dalam Islam. Islam moderat NU ini bukan milik kelompok tertentu, atau negara tertentu, tetapi memang inilah Islam sesungguhnya yang diajarkan Nabi,” kata Nasheer, usai gelaran ISOMIL PBNU di Jakarta Convention Center (JCC), Selasa, 10 Mei 2016. Nasheer melihat, selama ini banyak kelompok yang berorientasi pada perebutan kekuasaan dan membenturkan negara dengan Islam. Kelompok-kelompok itu kerap menebar konflik dan misi perang. 
"Islam bukanlah hizb, bukan partai atau pasukan perang. Sebab Islam bukan fikrul harb, tidak berorientasi pada peperangan. Islam adalah fikrul ummah, yang berorientasi pada pengembangan peradaban ummat, mewujudkan kesejahteraan, membina masyarakat dalam beribadah, membangun ketertiban umum," Ketua Umum PBNU, KH Sa’id Aqil Siradj menyambut baik dibentuknya NU di empat negara itu. Dia mengartikan, tawaran NU tentang wawasan dan pengalaman Islam Nusantara perlahan mulai disambut oleh dunia sebagai paradigma Islam yang layak diteladani. 
 "Islam Nusantara akan menjadi spirit bersama para peserta Deklarasi Nahdlatul Ulama, sebagai sumbangsih bagi peradaban Islam yang menghargai budaya yang telah ada serta mengedepankan harmoni dan perdamaian," 
Sebelum empat negara itu, para ulama Afghanistan telah terlebih dahulu membentu perwakilan NU. Pendirian NU di Afghanistan telah menjadi prototipe dan percontohan tentang berkembangnya Islam yang damai dan toleran. Diantara sekian banyak yang dapat disebut, tiga faktor berperan amat menentukan bagi maraknya ekstremisme dan terorisme. Tiga hal itu antara lain yaitu Pertama, bangkitnya ultra-konsertvatifisme Islam, kedua, bangkitnya ideologi supremasisme dalam Islam, ketiga, pendekatan sektarian yang dimainkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalan persaingan geo-politik di Timur Tengah. 
Ultra-konservatifisme mengasumsikan Islam sebagai satu paket ajaran (syari’at) yang baku, kaku dan tegas batasnya sejak era generasi paling awal 14 abad yang lalu. Watak ultra-eksklusif dan intoleran pun menyertainya. Bahkan terhadap pihak yang menyandang identitas Islam sekali pun, setiap selisih-faham merupakan alasan untuk mengeluarkannya dari kategori Muslim. Sedangkan pihak mana pun diluar kelompok dipandang sebagai obyek permusuhan sampai dengan menghalalkan kekerasan. 
 Mengingat karakteristik tersebut, para pengikut ultra-konservatisme yang hidup di lingkungan yang heterogen pada gilirannya cenderung mengalami “mentalitas salah-tempat” (mental displacement) sehingga terputus-hubungan (disconnected) dari hal-hal nyata di sekitarnya. Terputusnya hubungan (disconnection) itu mendorong kepada ketiadaan afeksi, empati dan keperdulian. Jelaslah bahwa mentalitas semacam itu amat rentan terhadap bujukan ekstremisme-kekerasan (violence-extremism) untuk melakukan teror dan penghancuran secara acak (random). 
Selanjutnya, rivalitas geo-politik di Timur-Tengah menyediakan energi bagi penyebaran ultra-konservatisme itu ke seluruh dunia, karena pihak-pihak yang bersaing sengaja memainkan isu sektarian atau bahkan dimotivasi olehnya. Ketika agama dihadirkan sebagai alasan konflik, maka batas-batas geografis dinafikan, karena agama senantiasa menuntut klaim universalitas. Pemeluk agama yang sama diseluruh dunia diseru untuk terlibat dalam konflik tersebut. 
Sementara itu, gagasan revivalisme Islam yang muncul pada akhir era kolonialisme Barat segera berkembang menjadi ideologi supremasis yang mampu melengkapi diri dengan organisasi dan jaringan yang efektif. Jika ultra-konservatifisme muncul dari kalangan non-Syi’ah, gagasan supremasis berkembang baik di kalangan Sunni maupun Syi’ah. Ikhwanul Muslimun sejak awal menegaskan ideologi ini sebagai haluannya. Sementara itu, setelah berhasil dengan revolusi di Iran (1981), Ayatullah Khomeini terkenal dengan pernyataannya bahwa ia bertekad mengekspor revolusi itu ke seluruh dunia.

Keinginan untuk menjalankan strategi pengembangan pengaruh melalui soft power secara global mendorong pihak-pihak yang bersaing di Timur-Tengah untuk mempropagandakan faham keagamaan masing-masing secara global pula. Organisasi dan jaringan pendukung ideologi Supremasisme Islam pada gilirannya menikmati sokongan sumberdaya secara besar-besaran dari pihak-pihak yang berkepentingan, sebagai “pemegang kontrak” pelaksana strategi soft power tersebut. Melalui cara inilah ultra-konservatisme bertemu dan berjalin-berkelindan dengan supremasisme.

Kini, semua proses itu dengan segala dinamika politik yang menyertainya, telah menghasilkan maraknya ekstremisme dan terorisme yang mengancam kemanusiaan dan keseluruhan peradaban dunia. Bukan saja kelompok-kelompok pendukungnya telah melakukan aksi-aksi kekerasan yang menimbulkan tragedi kemanusiaan dimana-mana, reaksi balik dari masyarakat non-Muslim terwujud ke dalam pasang naik Islamofobia yang sama ganasnya. Tragedi yang dialami oleh komunitas Rohingnya di Myanmar adalah alarm bagi prospek maraknya sikap anti-Islam ditengah berbagai kalangan masyarakat, terutama yang selama ini menjadi sasaran serangan ekstremis di seluruh dunia. Di Eropa dan Amerika, kecenderungan itu jelas-jelas semakin menguat. Konflik apokaliptik antar-agama dalam skala global menjadi prospek yang mustahil diabaikan.

Dunia menghadapi pilihan yang jelas yaitu kemanusiaan dan peradaban dunia harus diselamatkan, ekstremisme dan terorisme harus dihentikan. Operasi-operasi militer, penegakan hukum dan strategi-strategi mikro lainnya terbukti tidak membuahkan hasil yang berarti. Dunia tidak cukup hanya berurusan dengan gejala-gejala dan dampak-dampak. Dunia harus menohok sumber-sumber masalahnya. 
Untuk itu, pertama-tama dunia harus mengenali sumber-sumber masalah itu dengan jujur dan menghentikan pengingkaran. Konflik Timur-Tengah harus segera diakhiri dengan penyelesaian yang menjamin perdamaian yang langgeng. Sektarianisme harus dilepaskan dari persaingan geo-politik. Politisasi terhadap agama, khususnya Islam, baik demi klaim untuk membelanya maupun klaim untuk memusuhinya -dengan generalisasi- harus dicegah.

Mengingat sifat politik dari masalah ini, maka pemerintah negara-negara harus mengambil bagian dalam upaya-upaya bagi jalan keluarnya. Pemerintahan negara-negara dituntut untuk melepaskan kepentingan-kepentingan subyektif masing-masing dan menetapkan kebijakan yang efektif bagi penyelesaian masalah. Karena yang dihadapi adalah masalah eksistensial. Jika masalah ini terus dibiarkan berkembang hanya karena para pengambil kebijakan mengedepankan kepentingan-kepentingan parsial, yang dihadapi adalah prospek bahwa tidak ada satu pun kemapanan politik yang bebas dari ancaman. Tanpa kemapanan politik, tak ada pemerintahan.

Di sisi lain, masyarakat perlu membangun konsensus untuk memarjinalkan faham ultra-konservatif dan ideologi supremasis. Berkaitan dengan ini, dunia Islam dituntut untuk mengambil peran utama. Dunia Islam dituntut untuk memberikan klarifikasi yang jujur dan jernih mengenai posisi Islam sebagai agama dalam masalah ini.

Disamping itu, perlu disadari bahwa konservatifisme atau fundamentalisme dan moderasi bukanlah dua kotak yang terpisah sama sekali. Keduanya merupakan dua kutub dari satu rentang spektrum interpretasi terhadap Islam. Sebagai agama samawi (diwahyukan dari “langit”), Islam mengasumsikan adanya elemen-elemen ajaran yang statis (tsaabitaat) yang harus dipertahankan dan elemen-elemen yang dinamis (mutaghayyiraat) yang dapat disesuaikan dengan keadaan atau konteks yang berbeda-beda. Wacana tentang batas-batas antara kedua jenis elemen itu senantiasa strategis sepanjang sejarah, mengingat konteks ruang dan waktu yang terus-menerus berubah.

Dewasa ini, terjadi perubahan-perubahan konteks yang drastis dan berlangsung dengan cepat sehingga elemen-elemen tertentu yang mapan dalam ortodoksi Islam menghadapi masalah relevansi. Oleh karena itu, pintu dialog antara sumber-sumber ajaran Islam dan konteks yang berubah-ubah mengikuti ruang dan waktu harus tetap dibuka. Dialog kontekstualisasi perlu dilakukan secara intensif dengan melibatkan upaya yang terkonsolidasi, terutama di kalangan ulama. Bukan saja ummat Islam membutuhkan panduan beragama yang relevan dengan realitas kekinian, negara-negara berpenduduk Muslim atau yang menyandarkan diri pada legitimasi Islam membutuhkan wawasan keislaman yang menyediakan platform yang sesuai bagi keterlibatan mereka dalam pergaulan internasional yang damai. 
Indonesia memiliki aset-aset yang penting untuk disumbangkan bagi keseluruhan upaya tersebut. Posisi politik Indonesia sepenuhnya netral ditengah persaingan dan konflik geo-politik di Timur Tengah. Sebagai Bangsa Muslim terbesar di dunia, Indonesia pun menggenggam legitimasi yang amat kuat untuk memulai inisiatif perdamaian. Indonesia juga memiliki wawasan Islam Nusantara, yaitu wawasan keislaman yang mengedepankan harmoni sosial dengan vitalitas untuk secara kreatif terus-menerus mendialogkan sumber-sumber ajaran dengan perubahan-perubahan konteks yang terjadi di lingkungan sosial-budayanya. 
Wawasan Islam Nusantara telah terbukti ketangguhannya dalam membimbing masyarakat Muslim Indonesia melalui perjalanan sejarahnya hingga mewujud dalam tatanan sosial-politik yang moderen dan demokratis sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wawasan Islam Nusantara menawarkan inspirasi bagi seluruh dunia Islam untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran dan model-model interaksi yang damai dengan realitas kekinian dan pada gilirannya berkontribusi secara lebih konstruktif bagi keseluruhan peradaban umat manusia.

0 komentar:

Posting Komentar